CERPEN

Enam Kali Parmin Terkejut


Cerpen Narwan Sastra Kelana



          PARMIN terus terusik omelan istrinya. Pagi tadi saat hendak pergi kerja, istrinya ngomel tak karuan. Tentu saja sebagai suami, Parmin tidak mau ribut-ribut sepagi itu. Maka segera dia meninggalkan rumah. Parmin jadi tidak berselera untuk sarapan.
         Sudah hampir enam tahun mereka berumahtangga, namun belum juga mereka dikaruniai anak. Dulu Minah, istri Parmin, bercita-cita menjadi seorang istri dari orang kaya. Namun apa daya, ternyata dia kecantol dengan Parmin yang hanya sebagai buruh di sebuah pabrik dan hidup mereka pas-pasan. Belum memiliki momongan membuat keinginan lama Minah muncul kembali.
        Keinginan yang sulit kesampaian itu menggumpal di dada dan berubah omelan yang meledak setiap bertemu suaminya. Sebagai buruh pabrik, Parmin hanya membawa pulang uang seminggu sekali. Itu pun Minah sangat kerepotan untuk membelanjakan selama seminggu ke depan. Namun Minah sangat ingin seperti istri-istri tetangganya. Mereka semua memakai perhiasan lengkap. Bahkan perabotan rumah mereka bagus-bagus. Tidak seperti di rumahnya, dari dulu tidak ada perubahan. Justru semakin tak sedap dipandang.
***
Pagi ini Parmin terlihat ceria saat berangkat kerja. Pasalnya pagi ini dia tidak sarapan omelan. Sejak kemarin siang, istrinya pulang ke tanah kelahirannya. Kangen ibunya, begitu yang tertulis di secarik kertas di atas meja makan, saat Parmin membuka piring untuk makan sore. Meski telinganya tak berdengung, pikiran Parmin tetap berkecamuk. Mampukah segera membelikan perhiasan untuk istri tercinta? Jangankan membelikan perhiasan yang macam-macam, untuk makan sehari-hari pun pas-pasan. Memang tidak semua gajinya diberikan kepada istrinya. Meski hanya sedikit, Parmin menabungkan untuk persiapan lebaran. Dia tidak ingin istrinya cemberut saat bersilaturahmi ke tetangga atau sanak saudara hanya karena tidak memakai baju baru. Sehingga Parmin tidak ingin mengambil tabungannya, tak ingin pula pinjam di koperasi karyawan.
         Seperti biasanya, Parmin selalu melamun setelah makan siang di kantin. Mbak Rus, sang pimpinan kantin, diam-diam memperhatikan Parmin dari dalam ruang kerjanya. Hingga ketika Parmin kembali dari toilet, Mbak Rus memanggilnya..
“Ada apa Mbak?”
“Saya perhatikan, belakangan ini kamu sering melamun, Mas Parmin. Ada apa?’ jawab Mbak Rus, yang selalu memanggil untuk semua karyawan laki-laki dengan sebutan Mas.
“Mbak Rus rupanya memperhatikan saya, ya? Ah, tidak ada apa-apa kok Mbak.” Parmin berusaha mengelak.
“Masa tidak ada apa-apa kok melamun? Cerita sama Mbak Rus. Barangkali Mbak bisa membantu Mas Parmin.” Pinta Mbak Rus dengan senyum yang memikat.
“Tidak Mbak. Terimakasih.” Jawab Parmin singkat.

         Parmin menyadari, meski dia miskin namun tidak mau merepotkan orang lain. Bahkan dalam keadaan seperti saat ini. Bingung menuruti keinginan istrinya. Mbak Rus adalah wanita cantik. Namun sebenarnya dia tersiksa sebagai seorang istri yang suaminya sering berpaling ke wanita cantik. Bahkan sampai saat ini.
        Percakapan itu berlanjut menjadi obrolan yang boleh dibilang curhat istilah anak mudanya. Mbak Rus menceritakan kekesalannya terhadap suaminya, hingga Mbak Rus sangat senang apabila ada lelaki yang mau diajak ngobrol, sekedar melepas kegelisahan hatinya. Rupanya Parmin tidak keberatan menanggapi obrolan Mbak Rus. Paling tidak dia tidak sering melamun lagi di kantin. Hingga hampir setiap hari Parmin selalu setia mendengarkan cerita-cerita Mbak Rus yang sebagian besar adalah tentang masalah diri Mbak Rus.
“Terimakasih Mas Parmin mau ngobrol dengan Mbak Rus. Mas Parmin jangan sungkan-sungkan bila perlu bantuan eMbak.” Pinta Mbak Rus untuk kali sekian.
“Terimakasih Mbak. Mbak begitu baik, namun saya tidak mau merepotkan Mbak Rus. Terimakasih, saya kembali kerja Mbak.” Parmin pun segera meninggalkan kantin dan ketika sirine meraung-raung ke penjuru pabrik.
***
        Hari ini kembali Parmin ngobrol dengan Mbak Rus. Sesuatu yang mengejutkan Parmin saat mengakhiri obrolan. Mbak Rus menyodorkan sebuah bingkisan kecil. Parmin menolak, namun Mbak Rus mendesaknya.
“Bukan apa-apa Mas Parmin. Ini sekedar rasa terimakasih Mbak kepada Mas Parmin. Terima saja, Mas. Mbak tahu Mas Parmin sangat membutuhkannya. Tapi jangan dibuka sekarang. Nanti di rumah saja.” Bingkisan itu Mbak Rus masukkan ke kantong baju Parmin. Parmin tak bisa menolaknya. Rasanya juga tidak enak menolak pemberian orang lain. Bukankah itu sama artinya menolak rezeki?
        Setiba di rumah, Parmin tidak mendapatkan istrinya. Belakangan memang istrinya sering keluar dan pulang dengan belanjaan. Minah bilang dia membantu teman di pasar. Sekedar menambah kebutuhan dapur katanya setiap Parmin menanyakan dari mana. Parmin masuk kamar dan segera membuka bingkisan kecil pemberian Mbak Rus. Kali kedua Parmin terkejut setelah melihat isi bingkisan itu. Sebuah jam tangan sangat bagus menurut penilaian Parmin. Segera ia ingin memakainya, namun apa nanti kata istrinya, Parmin bingung. Mau dikembalikan jelas tidak enak, akhirnya Parmin putuskan untuk menyimpannya di tempat yang sangat aman dan tak ditemukan Minah. Pikir Parmin, dia tidak akan memakainya sebelum jelas apa maksud Mbak Rus.
         Tampak Minah masuk rumah dengan belanjaan yang cukup banyak. Parmin menyambutnya dengan senyum. Dia bangga kepada isrinya yang juga mau bekerja. Minah bilang dengan bekerja, maka uang dari suaminya bisa ditabung, dan untuk kebutuhan sehari-hari dari hasil kerjanya membantu teman di pasar.
         Parmin untuk kali ketiga terkejut. Dia melihat istrinya selain menebar senyum juga ada sesuatu yang lain pada diri istrinya. Telinga Minah kini beranting-anting. Belum sempat Parmin bertanya, Minah justru terlebih dahulu melempar pertanyaan.
“Ada yang lain pada diriku, Mas? Kok melongo?”
“Dari mana anting-anting itu Minah?”
“Mbak Mini itu baik sekali lho Mas. Aku tadi diajak ke toko emas dan dibelikan ini.” Jawab Minah sambil menunjuk kedua antingnya.
“Apa kamu cerita tentang keinginanmu?”
“Tidak juga. Hanya ngobrol tentang suka duka sebagai istri. Namun sampai juga kepada keinginanku sebagai seorang istri. Habis Mas Parmin tidak meluluskan keinginanku. Kita sudah lama berumahtangga lho Mas. Tapi mana bukti Mas Parmin menyenangkan istri?”
“Bukannya aku tidak mau Nah. Tapi kamu sendiri tahu, perhiasan itu mahal. Mana gajiku cukup?”
“Ya sudah. Jangan salahkan aku kalau aku juga bekerja untuk keinginanku. Jadi kali lain Mas Parmin tak perlu menanyakan lagi apabila aku memakai perhiasan.” Daripada serba salah, Parmin pun memilih diam dan segera berlalu keluar.
***
Obrolan di ruang kerja Mbak Rus, masih berlanjut. Rupanya Parmin semakin terhanyut oleh cerita-cerita Mbak Rus. Semakin akrab, bahkan Parmin sering mengeluarkan ledekan-ledekan bernada gurauan kepada Mbak Rus tanpa takut-takut. Suara tawa mereka terkadang terdengar dari luar, membuat para pramusaji di kantin kasak-kusuk. Bahkan karyawan lain pun ada yang mengetahui. Hingga tersebar berita tentang kedekatan Parmin dan Mbak Rus.
“Kalau begitu, Mbak Rus sangat kedinginan ya kalau tidur?” ledek Parmin.
“Begitulah Mas. Maklum Mas, sebagai istri yang normal wajar to ingin selalu mendapatkan perhatian dan kehangatan suami?”
“Apakah Mbak juga akan membalas perlakuan suami Mbak Rus?”
“Ya! Mbak sangat dendam. Sekarang dia malah menggandeng lagi pacarnya dulu sewaktu sekolah.    
         Perempuan itu juga nekad, padahal kami bertiga dulunya satu kelas. Namun akhirnya Mas Pras, memilih Mbak sebagai istrinya. Perempuan itu diputus Mas Pras karena sangat materialistis.”
“Siapa perempuan itu Mbak?”
“Namanya Minah.”
“Minah, Mbak?” Kali keempat Parmin terkejut. Mungkinkah Minah yang dimaksud Mbak Rus adalah Minah istrinya?
“Ya. Mas Parmin kenal?”
“Ah. Tt…tidak, Mbak!” Parmin agak tergagap menjawabnya.
“Seumpama Mbak tahu siapa suami Minah, tentu Mbak akan menggaetnya pula. Jadi biar dia rasakan sakitnya punya suami direbut orang..” Tampak Mbak Rus geram sekali.
         Dari pada tergagap lagi dalam menjawab pertanyaan Mbak Rus, maka Parmin segera pamit untuk kembali kerja. Nama Minah yang disebutkan Mbak Rus membuat hati Parmin bertanya-tanya. Mungkinkah istrinya yang digandeng Mas Pras suami Mbak Rus itu? Mendengar kegeraman Mbak Rus tadi, Parmin mencoba menebak-nebak. Perlakuan Mbak Rus kepadanya selama ini mungkinkah disengaja untuk membalas dendam perlakuan Mas Pras dan Minah kepadanya?
***
          Kali kelima Parmin terkejut, ketika mendapatkan istrinya pulang dari pasar. Minah sekarang sudah seperti istri orang kaya, bahkan melebihi istri-istri tetangganya. Telinga, leher, lengan, dan jarinya telah dipenuhi perhiasan. Parmin mencoba tersenyum menyambut istrinya.
“Kamu oleh Mbak Mini dibelikan perhiasan lagi Minah?”
“Mas Parmin lihat sendiri kan? Dan Mas Parmin tidak perlu bertanya mengapa. Yang penting keinginanku sekarang sudah tercapai.”
“Iya. Tapi boleh tanya yang lain kan?”
“Boleh. Mas Parmin mau tanya apa?”
“Mbak Mini yang baik sekali itu nama lengkapnya siapa, dan siapa pula nama suaminya?”
“Oh, itu. Nama lengkapnya Rusmini, suaminya bernama Prasmanto. Mereka teman sekolahku dulu.”
          Untuk kali keenamnya Parmin terkejut. Namun kali ini kepalanya terasa berputar dan bumi serasa bergoyang-goyang. Parmin pingsan!!

Roemah Boekoe, 2005